728 x 90

Mama dan Kebijaksanaan

Mama adalah wanita pertama yang ada di pikiranku kala itu, di kala aku harus melaporkan ayah kandungku atas tuduhan kekerasan dalam rumah tangga. Di kala itu umur ku baru 10 tahun, aku dibesarkan jauh dari kata cinta karena perkelahian antara mama dan ayah selalu menjadi pemandanganku disetiap malam kalbu. Teriakan mama dan suara pukulan ayah

Mama adalah wanita pertama yang ada di pikiranku kala itu, di kala aku harus melaporkan ayah kandungku atas tuduhan kekerasan dalam rumah tangga. Di kala itu umur ku baru 10 tahun, aku dibesarkan jauh dari kata cinta karena perkelahian antara mama dan ayah selalu menjadi pemandanganku disetiap malam kalbu. Teriakan mama dan suara pukulan ayah seolah menjadi nyayian tidurku menuju mimpi yang gelap. Bahkan, aku juga sudah lupa kapan terakhir kali kami berbagi tawa, kapan terakhir kali kami makan di meja makan, kapan terakhir kali aku melihat ayah dan mama tidur bersama. Iya, ayahku tidak pernah tidur di rumah setiap malam, aku juga tidak tau apa alasan dia datang kerumah di kala pekerjaannya sudah usai. Apakah hanya untuk bertengkar dengan mama? Atau hanya untuk memukuli mama?. Aku yang saat itu belum paham tentang masalah apa yang dihadapi keluargaku.

“Aldo kamu jangan khawatirkan mama ya, nak. Mama tidak apa apa kok,” kata mama sambil menangis memelukku, aku hanya bisa menganggukkan kepala. Setiap pagi mama selalu berkata kepadaku, “Aldo, ayah mu saat ini sedang gila, ia selalu memarahi mama dan memukul mama, mama harap kamu jangan mempedulikan itu, mama mau kamu fokus sekolah terlebih dahulu,” sambil memasangkan aku seragam sekolah. “Iya maa…” jawab ku kepadanya.

Siang yang terik, ayah menunggu ku di depan gerbang sekolah “Aldo kamu ikut ayah ya,  jangan kamu ikut dengan mamamu itu. Wanita jalang itu tidak akan mengurusmu dengan baik,” ayah ku mencoba merayu ku.

“Tidak ayah, kamu adalah satu satunya pria jalang di keluarga ini, kamu tidak pantas untuk aku panggil ayah,” jawabku dengan nada yang marah.

Aku berjalan meninggalkan ayah dan bergegas pergi ke rumah untuk melaporkan kejadian ini kepada mama, tapi aku lihat ayah di belakangku meneteskan air mata dan terduduk lemas dipintu gerbang sekolah. “Ahh.. mungkin dia telah menyesali perbuatannya,” geram ku ketika melihat ayahku. Sesampainya di rumah aku menceritakan kejadian ini kepada mama ku “Mama tadi aku bertemu dengan ayah, dan ia meminta aku untuk ikut dengan nya. Apa maksud dari perkataan itu ma?” tanya ku kepada mama.

“Jangan kamu pedulikan kata ayahmu itu nak, dia mungkin tidak akan memasangkan seragam sekolah di pagi hari dan tidak akan pernah memasakan makanan yang lezat untukmu,” jawab mama dengan suara yang rendah mencoba meyakinkan ku. “Apakah ia pernah memasangkan seragam sekolah mu? Apakah ia pernah memasakan makanan untukmu? Apakah kamu pernah melihatnya tinggal di rumah ini?” lanjutnya.

Aku menggelengkan kepala ku “Kalau begitu ganti bajumu. Mama sudah memasakkan ayam untuk mu,” kata mama ku menyuruhku mengganti baju. Aku pergi ke kamar dan mengganti bajuku. Namun, tak lama kemudian terdengar suara laki-laki datang kearah kamarku. “Aldo.. Aldo.. Ayo ikut dengan ayah, ayah sangat menyayangimu!” teriak ayah ku berjalan menuju kamarku, tapi mamaku langsung berteriak kepada ayahku. “Hei, anjing jalanan! Kenapa kamu masuk ke rumahku yang bersih ini, kamu pantasnya mengorek sampah di sungai sana!”

“Biarkan aku bertemu Aldo!” teriak ayahku yang membuatku menggigil ketakutan.

“Anak itu tidak akan pernah mau menemui mu lagi, ia milikku sekarang!” jawab mamaku kepada ayah dengan nada yang tinggi. Tiba-tiba suasana hening sebentar dan kemudian “Plukk.. Plukk.. Pluk..” suara pukulan keras terdengar dari balik kamarku. Disusul dengan suara teriakan mama yang keras “Aaa!! Dasar anjing!” teriak mama sekali lagi.

“Hei, wanita jalang jaga perkataanmu! Apa yang telah kamu katakan kepada Aldo?! Apakah kamu mencuci otaknya pagi ini?!” teriak ayahku kepada mama ditimpali dengan suara pukulan yang keras. Aku yang tidak tahan dengan situasi itu membuka pintu kamarku dan bergegas berlari keluar rumah sambil berteriak “Tolong…Tolong… ayahku ingin membunuh mamaku, tolong!” seketika warga datang bergegas datang dan mengamankan ayahku, aku yang menangis ketika melihat mamaku dengan hidungnya yang berdarah serasa batinku terkoyak meratapi kehancuran keluargaku.

Ini menjadi awal bagiku untuk tidur dengan tenang malam hari tanpa harus mendengar suara teriakan maupun pukulan lagi, rasanya sangat nyaman sekali berbaring di kasur dan ditemani bintang-bintang malam yang mencuci pikiranku. Perlahan-lahan mataku meredup, “Aldo, ayo bangun apakah kamu tidak sekolah hari ini?” suara mama terdengar begitu lembut di pagi hari.

Ternyata semalam tanpa sengaja aku tertidur diatas mimpi-mimpi indahku, rasanya segar sekali menghirup udara segar di teras rumah, burung-burung seolah bernyanyi membawakan kegembiraan, aku berjalan dengan gembira ke sekolah tanpa bayang-bayang ayahku lagi. Ya, ayahku telah mendekap di balik jeruji besi dengan dakwaan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Aku juga terlihat segar sekali di sekolah mengikuti mata pelajaran matematika dan bahasa inggris. Teman-temanku heran kenapa aku bisa sebahagia ini padahal ayah ku baru saja mendekam di penjara. “Baguslah aku memang tidak pernah mempunyai seorang ayah. Ia bukanlah ayahku, berandalan kotor itu sudah mendapat apa yang pantas didapatkannya,” jawab aku terhadap setiap pertanyaan temanku yang mempertanyakan ayahku.

Perutku marasa lapar karna di pagi hari aku tidak sarapan seperti biasa, mama juga tidak memberiku uang jajan karena aku pikir mungkin ia lupa karena harus mempersiapkan banyak hal untuk perceraiannya dengan ayahku. Sesampainya di rumah, aku bergegas untuk pergi ke dapur karna cacing di perut sudah menjerit-jerit. Namun, setelah kubuka rice cooker ternyata mamaku tidak masak, aku hanya menemukan 2 bekas nasi bungkus saja diatas meja makanku, aku pikir mungkin mama merasa sangat lapar hingga harus membeli dua nasi bungkus.

“Ahh sudahlah, mungkin mama lagi capek, aku tahan saja lapar ini, mungkin ini hanya sementara,” kataku sambil menaruh kembali piring yang telah kuambil tadi. Menunggu mama seharian entah kemana membuatku sangat lelah dan juga lapar. Tak lama kemudian, mama datang dengan seorang pria dewasa “Mama aku lapar, apakah mama membelikan aku makanan?” tanyaku ke mama dengan muka yang lemas. “Mama tidak punya banyak uang nak, ini mama hanya punya uang 5000 saja, mungkin kamu bisa belikan mie instan di warung” jawab mama sambil memberikan aku selembar uang Rp 5000. Kuambil uang itu dan aku segera pergi ke warung untuk membeli mie instan.

Entah kenapa akhir akhir ini aku merasa mama berubah dari biasanya, aku harus memasang seragamku sendiri dan tidak pernah ada sisa makanan lagi di meja makanku. Aku harus memasak sendiri jika aku merasa lapar, itu pun aku selalu gagal dalam memasak makananku, terkadang gosong dan terkadang masih mentah. Mama sering menghabiskan waktunya dengan pria dewasa yang bernama Om Burhan itu untuk minum-minum atau pergi jalan-jalan. Seolah aku tidak ada di pikiran mama lagi dan aku merasa sangat asing dengan keluarga ini.

Tiga bulan berselang, mama dan om Burhan menikah. Kami tinggal bertiga di rumah itu, tapi entah kenapa aku merasa seperti tidak berada di hati mama dan om Burhan, mereka sudah sering mengacuhkanku dan hanya menganggap aku sebagai pembantunya yang digaji dengan uang untuk sekolah.

Sembilan tahun berselang, aku sudah memiliki 2 adik tiri laki-laki, kehidupanku yang layaknya pembantu di rumah mereka ini membuatku merasa bosan. Aku mulai mencari kebenaran dalam keluarga ini. Ayahku sudah bebas dari penjara lima tahun yang lalu, kini ia sudah tidak pernah muncul di hadapanku lagi, tapi bayangnya masih menghantui mimpiku. Aku tak tau entah ini mimpi buruk atau mimpi indah karena kami mempunyai sejarah yang buruk, tapi di sisi lain ia tetaplah ayahku yang sudah lama tidak aku temui. Aku sangat merindukan kumis di wajahnya dan juga postur tubuhnya yang kurus itu.

Tepat hari kelulusanku, aku memberanikan diri untuk meminta kepada mama untuk menguliahkanku. “Mama aku ingin kuliah, bolehkah aku berkuliah di salah satu univeritas?” tanyaku kepada mama. “Buat apa kamu kuliah, mama tidak punya uang untuk itu, mendingan kamu bekerja saja bantu untuk membiayai adikmu itu,” jawab mama kepadaku dengan ekspresi yang sinis.

Aku melamar kerja sebagai kasir sebuah toko dan syukurnya aku diterima di sana. Setalah sekian bulan aku bekerja, aku mulai melupakan tentang kuliahku dan fokus mencari uang untuk biaya hidupku dan setengah aku berikan kepada mamaku. “Totalnya berapa, mas?” tanya bapak-bapak kepada ku. “Totalnya lima puluh ribu rupiah, Pak,” jawabku sembari melihat bapak itu.

Seketika aku terkejut bak tersambar jutaan petir sekaligus. Ya, aku melihat bapakku untuk pertama kali setelah sembilan tahun berlalu. “Apa yang kamu lakukan di sini? Seharusnya kamu pergi kuliah,” tanya bapak.

“Mama tidak punya uang untuk membiayai kuliah, aku harus bekerja untuk bisa bertahan hidup,” ujarku dengan nada rendah menahan air mata yang menetes perlahan.

“Tidak Aldo, ayah selalu memberikan uang untukmu melalui mama, setengah dari gaji ayah, ayah selalu kirimkan untuk kebutuhanmu. Tidak mungkin mamamu tidak punya uang,” bantah ayahku menatap mataku.

“Uang? Selama ini aku hidup menderita, harus pergi kesekolah dengan baju yang lusuh dan sepatu yang sudah tidak berbentuk lagi.” Kesalku pada ayah.

“Apa yang dilakukan mamamu selama ini dengan uangku? Itu uangku seharusnya cukup untuk membelikanmu baju baru dan sepatu baru. Bahkan, cukup untuk membiayai kuliahmu. Selama ini ayah selalu memberikan uang. Bahkan, alasan ayah selalu pulang ketika usai kerja agar bisa memberikanmu uang,” jelas ayah meyakinkanku.

“Jadi selama ini ayah selalu memberikanku uang untuk hidupku?” tanyaku dengan muka penasaran.

“Iya, ayah selalu mengirimkanmu uang bahkan saat ayah di penjara sekalipun, ayah tidak pernah lupa kepadamu. Mamamu selama ini berbohong kepadamu, berbohong bahwa ayah tidak pernah peduli denganmu, ia telah berselingkuh selama ini, itu lah yang membuat ayah dan mama selalu ribut,” lanjut ayahku.

Seketika hatiku langsung menghitam, segala pikiranku tentang kebaikan mama selama ini runtuh begitu saja, aku mulai merasa kesal setelah apa yang dijelaskan oleh ayah, tidak kusangka mama malikatku adalah iblis dari keluarga ini. Tanpa pikir panjang aku segera berlari pulang, ketemui mama di ruang tamu sedang makan-makanan mahal “Mama tolong jelaskan cerita sesungguhnya kepadaku!” titah aku kepada mama.

“Apa maksudmu Aldo? Mama tidak menyembuyikan sesuatu,” jelasnya dengan raut wajah panik.

“Ayah telah bercerita kepada ku, dan kini aku tau mama tidak pernah peduli kepadaku, mama memakaikan aku seragam agar mama terlihat peduli, kan?!” teriakku ke mama.

“Bukan seperti itu Aldo, pasti bajing-“

“Berhenti memanggil ayahku bajingan!” celaku kepada mama dengan ekspresi muka marah. “Ayah selama ini mengirimkan aku uang, di mana uang itu? Apa untuk memenuhi nafsumu saja?” lanjutku.

“Hei, Aldo berhenti berteriak kepada mamamu!” sahut om Burhan dari arah dapur.

“Kamu bukan ayahku berhenti mengaturku. Tidak ada yang pantas disebut keluarga disini, perselingkuhan kalian menunjukan bahwa bajiangan seperti kalian bukanlah keluargaku lagi. Mulai sekarang biarkan aku pergi dari rumah bodoh ini, aku bukan pembantu kalian lagi!” teriakku dengan lantang menantang kebenaran yang disembunyikan keluarga ini. Kuambil semua barangku dan kulangkahkan kaki menjauh dari rumah itu, aku juga tidak tau pergi kemana tapi setidaknya aku harus pergi dari rumah bodoh itu.

Aku tinggal dengan ayahku dan dua tahun berlalu ayahku terserang penyakit stroke. Aku harus merawat ayah di akhir hidupnya dan aku sekarang mulai menyesal telah membuatnya mendekam di jeruji besi. Aku sangat merasa berdosa dengan apa yang aku pikirkan tentang ayahku. Ternyata apa yang selama ini aku anggap sebagai malaikatku adalah orang yang mencoba memanfaatkanku dengan kata-kata manisnya. Tak lama setelah itu ayah meninggal dunia, tak seorang pun dari keluarga mamaku datang kepemakaman ayahku. Sekarang aku mulai berpikir bahwa mungkin keluarga mamaku memang benar-benar tidak peduli dengan kami, tapi kami salah mereka tidak datang ke pemakaman ayahku karna mereka sudah meninggal duluan.

Posts Carousel

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos